Minggu, 02 Oktober 2011

“LOW PROFILE" : PERLUKAH?

          Ada istilah yang sering digunakan dalam pergaulan yakni low profile. Sebutan ini sering ditujukan pada seseorang yang sebenarnya potensial namun tidak mau menonjolkan diri di hadapan publik. Karena pembawaannya, orang yang low profile umumnya rendah hati. Hampir-hampir selalu menghindari berdebat keras di depan umum. Atau ekstremnya tidak banyak ngomong. Namun bukan berarti introvert. Di dunia organisasi kalau toh orang itu punya gagasan selalu disampaikan lewat atasannya. Sifat itu berkaitan dengan kultur, sifat bawaan orang bersangkutan, dan bisa berkait dengan perekayasaan yakni semacam aturan tertulis dan konvensi.

         Tidak jarang seseorang, misalnya yang memiliki kedudukan wakil direktur (wa-dir) dihadapkan pada kesulitan ketika akan menyampaikan gagasan dalam suatu rapat manajemen. Kesulitan ini berkaitan dengan semacam “tatakrama” dalam hal tutur kata dan hirarki jabatan. Ada semacam aturan tidak tertulis atau konvensi ketika atasan hadir dalam rapat tersebut sebaiknya wakilnya jangan proaktif banyak bicara. Kecuali dimintai atau diberi kesempatan berpendapat. Termasuk juga ketika ada “obrolan yang melibatkan para direksi dan wa-dir. Ada semacam konvensi, sang wa-dir sebaiknya low profile karena “khawatir” atasannya merasa tersinggung dan wibawanya turun. Belum lagi ada pertanyaan menggoda kalau wa-dir proaktif bicara dan bekerja ; lalu mana yang sebenarnya real direktur? Apakah sang direktur atau wakilnya?

         Sifat low profile seseorang sering dihadapkan pada keputusan dilematis. Hal ini kalau low profile itu diposisikan sebagai hasil suatu rekayasa aturan. Ambil contoh saja, di satu sisi sang direktur jarang bicara dan kalau pun bicara tetapi mutunya rendah. Dan cenderung tidak bersemangat menerima gagasan dari wakilnya. Sementara di sisi lain wakilnya jauh lebih cerdas. Namun karena bersifat low profile yang artifisial maka gagasannya berhenti hanya di dalam hati saja. Padahal untuk menghadapi beberapa hal yang mendesak dan strategis, keputusan cemerlang perlu segera diambil. Bisa ditebak apa akibatnya bagi pengembangan unit yang dipimpin direksi bersangkutan.
 
          Dalam dunia usaha yang beroperasi semakin mengglobal maka dibutuhkan terobosan-terobosan cemerlang. Terobosan itu lahir melalui proses manajemen perubahan. Di dalamnya ada kegiatan diskusi intensif di antara para manajemen dan karyawan. Dalam model manajemen kemitraan (partnership) siapapun didorong untuk mengemukakan pendapat. Begitu pula kalau perusahaan sudah menjadi organisasi pembelajaran. Perusahaan mengembangkan transparansi, akuntabilitas, dan pelatihan-pengembangan diri di kalangan karyawan (manajemen dan non-manajemen). Karena itu perilaku low profile yang direkayasa manajemen puncak sudah ketinggalan zaman. Model itu akan menghambat perkembangan inisiatif, kreatifitas, dan daya inovasi manajemen dari para subordinasi. Biarkanlah mereka secara terbuka dan khusus langsung ke atasan dan sesama mitra kerja untuk menyampaikan semua gagasannya.

         Namun di sisi lain sifat bawaan low profile yang mencerminkan kerendahan hati dan tidak menonjolkan diri sangatlah dibutuhkan perusahaan. Itu penting sebagai modal integritas pribadi karyawan dalam meningkatkan pengembangan diri sendiri. Termasuk pengembangan hubungan kerja dan sosial yang saling mengerti dengan mitra kerja dan dengan atasan. Selain itu sebagai pekerja keras dan cerdas, salah satu ciri seorang karyawan  yang baik adalah low profile. Malah konon sebagian khalayak berujar, biarkan saja seseorang itu bersifat low profile asalkan high bonafide.